Senin, 02 November 2009

Ikan Setan Bernama Pira anha

Bila berkelompok, ikan satu ini bisa berubah menjadi pemangsa nan kejam dan tak berperasaan. Bayangkan, hanya dalam hitungan menit, mangsa seberat belasan, bahkan puluhan kilogram ludes dilumat, yang tersisa hanya tulang belulang.

Penulis: Dharnoto
Bangkai ayam kupas itu lunglai tenggelam ke dalam akuarium. Tak lama kemudian, sekitar 3.000 ikan piranha muncul dari berbagai arah, berenangan dengan liar dan agresif, mengambil formasi pengintaian. Seekor di antara mereka berinisiatif jadi “provokator”, mendekati mangsa, lalu melakukan gigitan pertama. Ia lalu bak memberi kode – mungkin secara akustik – yang hanya bisa dipahami bangsanya sendiri, untuk “menyerbu”.

Dalam sekejap, mangsa digerumuti ribuan ikan seukuran 10 – 20 cm. Selesai makan, mereka berhamburan. Si mangsa berubah jadi tulang belulang, hanya dalam tempo 90 detik! Nasib serupa juga dialami ikan tongkol dan ikan kembung yang sama-sama dimangsakan, pada lain kesempatan. Sekali makan, 5 kg ikan digasak habis. Bayangkan, jika sehari tiga kali makan, berarti 12 – 16 kg ikan siap ditulangkan.

Gigi setajam silet
Piranha memang tak pernah berubah. Warga asli sungai Amazone, Amerika Selatan ini selalu ganas, seperti di habitat aslinya. Tak peduli mereka sedang dikurung dalam salah satu akuarium di Seaworld Indonesia, Ancol, Jakarta, seperti diilustrasikan di atas.

Dengan tampilan mirip ikan bawal (mereka memang satu kerabat), tampang piranha sebenarnya jauh dari sadis. Malah sisiknya seperti ber-glitter. Dua garis hitam di pangkal ekor membedakannya dengan bawal yang cuma punya satu garis. Warna sisiknya perak keabuan hingga kehitaman. Bagian tutup insang sampai bagian bawahnya ada semburat kemerahan. Piranha merah (pygocentrus nattereri) yang ada di Ancol, perutnya bersaput warna merah oranye.

Kalau sedang sendirian, ia tak ubahnya ikan hias manis laku. “Kalau dibawah 10 ekor, ia seperti ikan oscar, atau arwana. Meski karnivora, tapi enggak galak-galak banget,” ujar seorang pemelihara ikan hias. “Belangnya” baru kelihatan jika sedang santap bersama dengan kelompoknya, yang minimal berjumlah 100 ekor.

Anehnya, kendati tampak rakus, mereka tetap menjunjung tinggi kesetiakawanan. Meski berdesakan saat menyontok mangsa, tapi setelah menggigit, masing-masing berenang menjauh untuk memberi jalan bagi yang belum kebagian.

Namun, “Karena berdesakan dan asal menerkam, tak urung ada juga kolega yang tergigit,” tutur Nugroho Agung dari Seaworld Indonesia. Akibatnya, sehabis “pesta besar”, ada saja yang sirip atau badannya terluka.

Sedetik sebelum menggigit, rahang mereka yang kuat dan menengadah menampakkan deretan gigi setajam silet, yang bentuknya seperti gergaji. Sekali kerat, daging korban langsung sobek. Dengan ratusan rahang yang menerkam dalam frekuensi tinggi, tak heran jika seekor anak kambing bisa terkelupas bersih hanya dalam satu-dua menit saja. Binatang seberat 45 kilogram pun ditulang-belulangkan tak lebih dari semenit!

Punya penciuman tajam
Kata piranha berasal dari bahasa Tupi-Guarani (digunakan di Brasil, Peru, Paraguay, Bolivia, dan Guiana Prancis), pira-ranha artinya ikan bergigi tajam atau pira-anha alias ikan setan. Piranha juga dijuluki caribia atau piraya, ikan air tawar dari Amerika Selatan. Konon, kini tersisa hanya 24 jenis piranha saja.

Selain dikenal sebagai pemakan daging, ada juga jenis piranha yang herbivora (pemakan tumbuhan di sungai atau danau kawasan hutan tropis). Piranha karnivora tergolong peka dan mudah terangsang oleh bau darah. Pendengaran dan penciumannya amat tajam. Suara gaduh bisa mengundang mereka segera datang. Suara mamalia tercebur ke sungai misalnya, dapat menjadi “undangan makan”.

Sering dikabarkan, piranha suka menyerang manusia yang menyeberang sungai. Padahal, hal itu jarang terjadi. Karena kenyataannya, piranha lebih sering mengeroyok ikan jenis lain, amfibi, reptil, burung, serangga, cacing atau binatang lain yang besar tubuhnya tidak jauh melebihi dirinya. Piranha juga tak perlu mangsa yang masih segar, bangkai binatang mati pun disikat.

Mereka pun kanibal. Jika tak ada makanan, lalu ada saudaranya yang sakit, “Mereka menyerang dan memakannya hidup-hidup,” ujar Dani, punggawa Seaworld Ancol. Meski bergigi tajam dan bergeraham kuat, hidup ikan piranha tak lantas aman sentosa. Selain diancam kanibalisme antarteman, ada pula binatang lain yang ngiler akan daging tubuhnya. Ikan-ikan yang lebih besar siap melahap piranha yang berenang sendirian. Begitupun lumba-lumba dan buaya (aligator).
Bersatu piranha teguh
Sedangkan untuk mengantisipasi ancaman para predator di dalam sungai, para piranha kerap menyatukan rahang dan taring mereka. Ditantang ribuan gigi silet hasil kolaborasi ratusan ikan piranha, tentu hati sang predator ngeper. Kalau masih sempat kabur, larilah dia. Tapi kalau tak sempat, atau nekat berjibaku, maka dipastikan hanya tulang belulangnya yang akan pulang ke sarang.

Jadi, piranha membentuk kawanan besar sebenarnya lebih untuk mempertahankan diri. Sebelumnya, diindikasikan, pembentukan kelompok itu semacam cara untuk memudahkan perburuan, karena mangsa yang diserang akan lekas takluk jika dikerubuti. Ternyata bukan itu tujuannya.

Prinsip “bersatu kita teguh, bercerai kita dibunuh” di kalangan piranha ini ditemukan oleh tim peneliti dari Universitas St. Andrews, Inggris, yang dipimpin Prof. Anne Magurram. Tim ini melakukan penelitian di danau Viana, Brasil.

Mereka menemukan, upaya bertahan dari serangan predator itu terlihat dari formasi kelompok yang dibentuk. Kelompok dewasa, yang berukuran 30 cm hingga maksimal 60 cm berada di lapisan luar. Sementara piranha betina usia subur, berada di lapisan dalam, sehingga terlindungi.

Seberapa besar derajat ancaman bisa dilihat dari kondisi lingkungan dan jumlah anggota kelompok. Di lingkungan dengan permukaan air tinggi, kelompok beranggotakan “hanya” sekitar 50 ekor, karena tersedia cukup ruang untuk menghindari predator. Beda dengan di permukaan air rendah seperti di danau atau sungai, setiap grup berisi ratusan ekor, karena predator dan mangsa biasanya ada di sekitar mereka.

Dewasa ini, bukan hanya predator yang membahayakan kehidupan piranha. Ada persoalan yang tak kalah memprihatinkan, yaitu pencemaran air tawar di sungai-sungai tempat habitat mereka. Seperti didapati sejumlah ilmuwan dari Conservation International (CI), yang melakukan survei tiga pekan di perairan Venezuela, tepatnya di sungai Ventuari dan Orinoco.

Di desa-desa tepian kedua sungai itu, ditemui banyak penambangan emas liar. Untuk memisahkan emas dari mineral lain, para penambang menggunakan merkuri, yang mengakibatkan polusi lingkungan. Tak ayal, sejumlah piranha ditemukan mengandung kadar merkuri di atas ambang normal. Akhirnya, tangan manusia jua yang memercik bencana buat si ikan buas.

Jarang gigit orang
Citra menyeramkan piranha agak memudar, setelah diketahui ternyata hanya ada 4 jenis piranha yang tergolong karnivora asli. Sekitar 20 jenis lainnya bervariasi, termasuk di dalamnya piranha herbivora.

Apalagi, berdasarkan pengalaman, jarang terdengar piranha membantai manusia. Meski keberadaannya kerap bikin panik banyak orang. Seperti yang terjadi di sungai Thames, Inggris, pada Februari 2004. Awak sebuah kapal yang melintasi sungai itu terhenyak, kaget campur heran, setelah menemukan seekor ikan berukuran 10 cm di geladak kapal. Mereka bingung, ikan itu giginya kok tajam sekali.

Setelah dibawa ke London Aquarium dan diperiksa oleh kurator Paul Hale, diyakini ikan tadi benar-benar piranha. Diperkirakan, ia dilepas seseorang ke sungai Thames. Kalau toh sempat hidup, ia tak bakal bertahan lama, karena dingin dan derasnya air sungai. Mungkin, ia terdampar ke pinggiran sungai, lalu disambar burung camar laut, yang tak sengaja menjatuhkannya ke atas kapal.

Di Hongkong bahkan terjadi insiden lebih menakutkan. Ketika iseng mencelupkan tangan ke air mancur untuk umum, seorang remaja 14 tahun digigit ikan piranha. Ia mendapat tiga jahitan di jarinya. Ketika kolam air mancur itu dikeringkan, terdapat bangkai tiga ekor ikan, dua diantaranya diidentifikasi sebagai piranha.

Cerita lain, tatkala pemerintah Thailand menggalakkan penyitaan terhadap ikan piranha peliharaan, para pedagang ikan hias di Thailand mengancam akan melepas seluruh stok yang dimiliki ke semua sungai di negeri itu. Wah wah wah, bayangkan, apa yang terjadi jika ratusan, bahkan ribuan piranha berkeliaran di sungai-sungai yang dekat dengan pemukiman penduduk.

Di Indonesia, sejumlah penggemar ikan hias melengkapi koleksinya dengan ikan buas ini. Sekadar ingin tahu. Tentunya dengan perlakuan khusus, dan dijaga ketat agar anak kecil jangan mengobok-obok akuarium. Harganya? Ada yang berani menawarkan, “Dijual ikan piranha, dijamin asli Amazone. Bisa dibuktikan. Plus akuarium cuma Rp 1 juta. Isi 23 ekor. Sekali bertelur bisa langsung ribuan ekor!”
Tertarik Memelihara Piranha di Rumah?

Piranha digolongkan ikan hias, karena fisiknya yang mirip ikan bawal merah. Itu sebabnya, selalu saja ada kolektor ikan hias yang memelihara ikan piranha di rumahnya. Mereka enggak takut, karena mengakui, jika sendirian, ikan buas ini kehilangan pamornya alias mati kutu.

Tapi soal makanan memang tak bisa sembarangan. Ada kolektor yang memberi piranhanya hati ayam mentah. Toh ada juga yang cuek, cuma memberi cacing beku. Mungkin karena tak ada pilihan, si piranha ya melalap juga. Cuma, ada seorang pehobi yang alpa memberi makan sepasang piranhanya. Usut punya usut, ikannya ternyata berkurang satu, dimakan sesama piranha.

Dalam milis antarpenggemar ikan hias, seorang pemelihara berkomentar, “Ikan piranha di Indonesia tidak termasuk hewan dilindungi dan tak masuk daftar BKSDA (Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam), karena bukan asli Indonesia yang terancam kepunahan.” Namun, SK Menteri Pertanian No 179/KPTS?/UM/3/1982 melarang piranha dan berbagai jenis ikan berbahaya dari luar negeri masuk ke Indonesia, kecuali untuk kepentingan pendidikan dan pengetahuan.

Pembatasan dilakukan melalui izin masuk dari pabean. Jadi, sebenarnya tak bisa disita bila ada izin importirnya. Nah, seandainya bebas dipelihara, lalu ada yang busuk hati melepas piranhanya di tempat umum atau di sungai, apa yang kira-kira yang akan terjadi? Hii, seram!

Intisari, No. 530 TH. XLIV
Sadur Wawan

Sadur Wawan

0 komentar: