Senin, 02 November 2009

Yang Mengail Untung dari Gempa

VIVAnews – HARI belum gelap. Pukul lima lebih 16 menit, Rabu 30 September 2009. Ruslan terperanjat. Siaran televisi petang itu memompa jantungnya melaju cepat. Padang diguncang lindu 7,6 skala richter. Rumah-rumah rata tanah, pusat perbelanjaan dan hotel ambruk mengubur ratusan tamu.

Dari sebuah rumah di Mampang, Jakarta Selatan, ingatan Ruslan melayang jauh ke kampung halamannya di tanah Minang itu. Ayah-ibu, adik dan sanak-saudaranya. Jarinya gemetar memencet tombol telepon seluler. Tidak bersambung. Sialan.

Hatinya kian galau. Usahanya untuk terus menelepon hingga subuh sia-sia belaka. Seluruh komunikasi ke sana lumpuh ditekuk gempa. Sapanjang malam itu Ruslan sibuk berharap, semoga sanak saudaranya selamat.

Esok paginya, setengah mengantuk, dia meluncur ke Bandara Soekarno Hatta, Tanggerang, Banten. Jalanan merambat. Tiba di sana pukul delapan lebih 15 menit. Dia terkejut. Antrean sudah mengular di depan hampir semua maskapai penerbangan.

Dan “gempa” lain sudah terjadi di hampir semua loket itu. Harga tiket melangit. Hampir semua maskapai penerbangan, kata Ruslan, mematok harga tiket dalam rentang Rp 1,5 hingga Rp 2 juta. Berapa yang harus dibayar tergantung jam penerbangan. Padahal lazimnya harga tiket itu beredar di bilangan Rp 500 hingga Rp 700 ribu.

Rindu mengetahui kabar keluarga disana memaksa Ruslan merogoh koceknya lebih dalam. Tapi apes juga. Tiket menuju Padang sudah ludes. Ruslan terkulai, duduk menyerah di bangku terminal 1A bandara itu.

Bukan hanya Ruslan yang bernasib sial. Di bandara itu ratusan orang duduk menunggu dalam kegalauan. Mereka saling bertanya soal harga yang melangit dan ludesnya tiket penerbangan ke Padang. Dalam kegalauan itu, seorang lelaki separuh baya menghampiri Ruslan. Dia bertanya, “Bapak mau ke Padang?” Ruslan menjawab, “Benar.”

Sembari menyorongkan sebuah tiket, lelaki itu menyambung, “ Ini, saya punya untuk penerbangan jam 14.40 WIB.” Tapi, astaga!!! Harganya menjulang tinggi ke bilangan Rp 2,6 juta. Lebih Rp 1,9 juta dari harga biasa.

Ruslan terjepit, tak punya pilihan lain. Dia membayar.”Mahal tak apalah, asalkan saya bisa ke Padang,” tuturnya kepada VIVAnews. Dia pun terbang ke Padang dengan seribu kegundahan, meninggalkan si calo yang meraup untung besar.

Dan para calo yang berkuasa di Bandara Soekarno Hatta itu memangsa siapa saja. Dengarlah kisah Fachrizal, seorang jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Gempa dan kabar akan adanya gulungan tsunami dari laut membuat hati sang jaksa berdebar.

Kedua orangtuanya yang menetap di Ulang Karang – cuma beberapa meter dari pantai Padang – akan jadi sasaran empuk jika bencana itu datang.

Tekadnya cuma satu. Terbang ke Padang dan membawa kedua orangtuanya ke Jakarta. Kamis pagi, 1 Oktober dia meluncur ke Bandara Soekarno Hatta. Tapi Pak Jaksa Fachrial harus membayar dengan harga Rp 1,5 juta.

Lindu yang menguncang Sumatera Barat, Rabu 30 September itu, memang memanggil banyak orang pulang kampung. Tak peduli harga yang melangit dan rute yang berliku. Dari Banda Aceh terbang ke Medan, terbang ke Jakarta, baru balik lagi ke Pulau Sumatera, ke Kota Padang.

Itulah rute yang harus ditempuh Syafri, yang menetap di Banda Aceh tapi keluarganya tinggal di Padang. Hatinya berdebar mendengar berita soal gempa itu. Lama menetap di Banda Aceh, yang digulung tsunami beberapa tahun lalu, Syafrie paham betul bagaimana bencana itu menguburkan segalanya.

Kamis, 1 Oktober itu dia terbang ke Medan. Rencananya dari Medan dia terbang lagi ke Padang. Rute yang singkat itu meliuk jauh hingga Pulau Jawa, lantaran tiket penerbangan – yang cuma sekali sehari Medan-Padang itu – sudah ludes.

Tidak ada pilihan lain. Syafrie terpaksa terbang dulu ke Jakarta. Tiba di Bandara Soekarno Hatta siang hari. Di sana dia membeli tiket dengan harga mencekik. Total perjalanan Banda Aceh –Medan- Jakarta-Padang itu merogoh koceknya Rp 3,4 juta. "Ini tidak normal, tapi mau bagaimana lagi," katanya mengeluh. (Lihat: Mereka yang Tersenyum di Sela Musibah)

***

Kekuasaan para calo dalam dunia penerbangan kita sepertinya sudah begitu digdaya. Bahkan ketika bencana yang membutuhkan rasa empati sekalipun. Pemerintah nyaris tidak berdaya menumpas rantai para calo ini.

Di Bandara Internasional Soekarno Hatta, tempat dimana sejumlah orang penting negeri ini --termasuk para penegak hukum lalu lalang-- para calo ini masih bertaring.

Kita sepertinya sudah maklum. Tapi mengail keuntungan dari tingginya jumlah penumpang ke daerah bencana itu membuat banyak orang jadi murka. Repotnya, dalam keadaan bencana seperti itu bukan cuma calo yang menaikan harga, ada pula maskapai penerbangan yang mengerek harga.

PT Angkasa Pura II, yang mengelola Bandara Soekarno Hatta memang pernah menghimbau agar maskapai penerbangan tidak menaikkan harga tiket ke Padang, Sumatera Barat. “Jadi siapa bilang kita tutup mata,” kata Juru Bicara PT Angkasa Pura II, Trisno Heryadi.

Tutup mata atau tidak, faktanya dilapangan banyak penumpang yang terpaksa membeli dengan harga tinggi.

Irwan Prayitno, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menenggarai adanya maskapai penerbangan yang menaikan harga di saat bencana itu. Mereka yang terbang ke Padang itu, katanya, sebagian besar keluarga korban dan tenaga sukarelawan yang mau memberi bantuan.

“Kenapa perusahaan penerbangan tega menaikkan harga tiket sampai beberapa kali lipat,” protes Irwan. Sejumlah anggota dewan yang lain juga mengirim protes serupa.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mendengar kabar kenaikan harga tiket itu geram bukan kepalang. Bagaimana mungkin, kata Kalla, dalam keadaan bencana seperti ini ada yang menaikkan tarif tiket.

Kalla langsung memerintahkan Departemen Perhubungan untuk memantau penjualan tiket ke Padang itu. Bila ada perusahaan penerbangan yang mengerek harga, ancam Kalla, “Saya akan cabut ijin operasinya.”

Dan apa jawaban perusahaan penerbangan. Supevisor tiketing Sriwijaya Air, Kartini Elisabeth Natalia, membantah bila pihaknya pernah menaikkan harga tiket ke Padang hingga 2 juta lebih. Dia memastikan bahwa Sriwijaya tidak pernah mematok harga melampaui batas atas yang ditetapkan Departemen Perhubungan.

Lalu darimana datangnya harga yang menjulang itu. Harga tiket yang membumbung tinggi itu, kata Kartini, adalah harga yang ditetapkan calo. Dia memastikan, “Itu di luar tanggung jawab kami.” Kartini juga tegas membantah adanya permainan antara perusahaannya dengan para calo.

Sejumlah perusahaan penerbangan mengakui punya alasan yang kuat untuk menaikkan biaya. Humas Lion Air, Edward Sirait mengakui, naiknya tarif tiket semata-mata untuk menutupi biaya opera¬sional dari rute sebaliknya Padang ke Jakarta.

“Pernerbangan ke Padang naik, tapi sebaliknya dari Padang ke Jakarta sepi,” katanya. Karena itu, untuk menutupi biaya operasional pulang pergi, tarif dinaikan.

Humas maskapai penerbangan Mandala Airlines Trisia Megawati yang dihubungi VIVAnews mengaku telah menurunkan harga hingga di bawah Rp 1 juta terhitung sejak tanggal 3 Oktober 2009. Tapi ia tidak menerangkan harga tiket yang dibayarkan penumpang sebelum penerbangan tanggal 3 Oktober.

***

Gempa yang menguncang Sumatera Barat menimbulkan banyak korban jiwa. Hingga Sabtu, 10 Oktober 2009, jumlah yang meninggal 739 orang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menghitung sekitar 296 orang masih hilang.

Jumlah korban hilang terbanyak berada di Kabupaten Padang Pariaman yakni 144 jiwa, di Kota Padang 41 jiwa dan di Kabupaten Agam sebanyak 30 orang. Korban meninggal terbanyak berada di Kabupaten Padang Pariaman yakni 335 jiwa. Sedangkan 122.884 rumah warga rusak berat akibat gempa.

Ruslan, yang 1 Oktober itu terbang dalam kegalauan ke kota Padang itu, berdebar hatinya menyaksikan rumahnya yang rusak parah. Semua keluarganya selamat. Anak seorang sepupunya menemui ajal dibawah reruntuhan Lembaga Bimbingan Belajar Gama.

Seorang warga lainnya yang bernama Zulmadi, menetap di Jakarta, terbang ke Padang dan langsung terbenam bersama para sukarelawan yang sekuat tenaga mencari korban di reruntuhan Hotel Ambacang. Adik Zulmadi, yang benama Reni Marlina, terkurung di bawah reruntuhan itu.

Reni Marlina adalah karyawan perusahaan jasa asuransi Prudential yang saat kejadian- bersama 80 karyawan lainnya- sedang menggelar pertemuan di hotel tersebut. Hingga hari ini keberadaan Reni belum jelas juga. Petugas yang melakukan evakuasi memastikan tidak ada lagi korban yang hidup di bawah reruntuhan itu.

Zulmadi masih terbenam dalam kesedihan. Rasa sayang kepada adik bungsunya itu membuat Zulmadi tidak peduli dengan harga tiket pesawat yang harus dibayarnya. "Berapa pun tak jadi masalah yang penting saya tahu kondisi adik saya." Terbang ke Padang itu, dia mengaku harus merogoh kocek sebanyak Rp 1,6 juta.

Laporan: Rukhyat Soheh (Tangerang) dan Eri Naldi (Padang)

0 komentar: