Selasa, 03 November 2009

Kontroversi Nobel Perdamaian Bagi Obama

VIVAnews - Komite Nobel tampaknya telah mengambil risiko besar saat mengumumkan bahwa Barack Obama berhak mendapat Nobel Perdamaian 2009. Kendati Obama merupakan tokoh yang cinta damai, presiden Amerika Serikat (AS) ini memimpin kekuatan militer yang paling kuat di dunia, yang tengah berperang di Afganistan dan Irak.

Sejumlah pengamat di penjuru dunia mengritik Komite Nobel karena hanya memperhatikan lontaran-lontaran retorika dengan memunculkan Obama sebagai pemenang Nobel tahun ini. Saya yakin bahwa kritik demikian sangat jahat dan tidak pantas, bahkan bisa berbahaya. Ini sama saja mengecam "harapan" (jargon yang sering dikumandangkan Obama - red) sebagai kata-kata yang hanya bersifat sesaat.

Namun, dalam politik, kata-kata bisa menjadi tindakan. Pidato Obama di Kairo (Mesir) awal tahun ini setidaknya menunjukkan adanya perubahan dalam iklim hubungan antara dunia Muslim dan Amerika. Kata-kata yang diucapkan Obama kepada Iran memang belum membuahkan hasil, namun pembicaraan dengan Iran telah kembali berlanjut dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengirim tim inspektur ke sejumlah reaktor nuklir di dekat kota Qom, yang hingga bulan lalu masih menjadi tempat rahasia.

Jangan lupakan pula isi percakapan antara Obama dan Presiden Rusia, Dmitri Medvedev, bahwa program bersama perlucutan nuklir kedua negara telah dimulai. Hasil dari upaya ini akan diserahkan kepada Konfrensi Tinjauan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, yang akan berlangsung pada 2010.

Banyak pihak tahu bahwa bahwa proliferasi nuklir dapat diredam, dan pada akhirnya bisa dipecahkan, hanya melalui tindakan bersama oleh komunitas internasional. Tidak satu negara pun yang bisa menangani proses itu sendirian. Maka, langkah yang telah diambil Obama dan Medvedev sangatlah esensial dan juga telah mendapat restu dari Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown.

Kendati berdiam diri, kabarnya China pun menyetujui perlucutan itu. Prancis pun harus mengungkapkan sikap mereka atas perlucutan nuklir. Pasalnya, mengingat pentingnya isu ini, kata-kata harus diikuti oleh perbuatan.

Bila masa depan diplomatik mengenai perlucutan nuklir terlihat menjanjikan, tidak begitu halnya dengan isu-isu lain. Dialog dengan Iran dan dengan dunia Muslim, misalnya, masih tergantung pada penyelesaian konflik Israel-Palestina. Konflik ini masih menghambat potensi dialog dan kemajuan yang hendak dibangun.

Kaum protagonis dalam konflik itu masih berseberangan. Baik di Israel dan Palestina, kepemimpinan politik masih sangat lemah. Faktanya, di Israel, kekuatan mayoritas di parlemen masih membiarkan perluasan pemukiman - yaitu pembangunan 200 rumah baru di Tepi Barat yang ditentang oleh Obama. Sikap ini menggambarkan masih berlanjutnya aksi para pihak yang mengganggu upaya perdamaian.

Dalam melanjutkan perluasan pemukiman, Israel secara bertahap mempersempit ruang bagi terciptanya negara Palestina yang normal - yang membutuhkan wilayah yang utuh dan memiliki perbatasan yang jelas. Ada sesuatu yang kriminal di balik kebijakan pasukan Israel yang menghancurkan peluang ini dan ada sesuatu yang tragis melihat ketidakberdayaan komunitas Israel untuk mencegah penghancuran itu.

Elie Barnavi, mantan duta besar Israel untuk Prancis, baru-baru mempublikasikan sebuah buku berjudul "Hari Ini atau Mungkin Tidak Sama Sekali" ( Aujourd'hui ou peut-ĂȘtre jamais) dengan sub-judul "Isu Perdamaian Amerika di Timur Tengah" ( Pour une paix amĂ©ricaine au Proche Orient). Barnavi menyorot kemunduran situasi sekaligus meningkatnya kesulitan dalam mencapai perjanjian damai. Dia berpegang teguh pada semboyan harapan yang dilontarkan Obama. Tidak seperti dua pendahulunya, Obama tidak mau menunggu hingga tahun terakhir periode kepresidenannya untuk menangani upaya damai di Timur Tengah.

Saat ini, isu itu kini semakin serius. Pasalnya, penghentian perluasan pemukiman, yang merupakan kunci bagi diadakannya pembicaraan damai, tidak mendapat dukungan di Israel. Maka, kita berada pada situasi yang sulit karena bila ingin merealisasikan harapan yang dilontarkan Obama pada akhirnya harus meningkatkan tekanan Amerika kepada Israel. Cara itu tidak populer di Amerika. Namun, bila tidak ada perkembangan apapun, kita pada akhirnya akan kembali menyaksikan kegagalan.

Berdasarkan pemaparan di atas, penganugerahan Nobel Perdamaian bagi Obama terasa terlalu cepat karena, pada kenyataannya, belum ada sesuatu yang terjadi. Namun, di sisi lain, penghargaan ini memperkuat visibilitas, otoritas, dan legitimasi internasional atas inisiatif Amerika. Kendati belum semua diucapkan maupun dilakukan, kesuksesan masih bisa dicapai.

Komite Nobel kali ini telah mengambil risiko besar dengan tidak memberi penghargaan kepada karya yang telah menunjukkan hasil. Namun, risiko itu bisa jadi memberi hasil yang sepadan. Perdamaian, walau sesulit apapun dicapai, harus diasahdengan harapan.


Michel Rocard adalah mantan Perdana Menteri Prancis dan pemimpin Partai Sosialis. Artikel ini dikutip dari laman Project Syndicate dengan judul asli "Rewarding Hope." Artikel dalam bahasa Inggris dalam dilihat di laman Project Syndicate, www.project-syndicate.org

0 komentar: